PENYIDIKAN IN ABSENTIA DALAM PENANGANAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA (SEBUAH ALTERNATIF PENERAPAN ASAS PERADILAN CEPAT)

Risky Fany Ardhyansah

Abstract


Seiring dengan berkembangnya waktu pada pemeriksaan di peradilan, dalam
tindak pidana korupsi diberlakukan aturan khusus yang mengatur bahwa tanpa kehadiran terdakwa yang telah dipanggil secara sah di sidang pengadilan, persidangan tetap dapat dilanjutkan (in absentia), hal ini dipertegas dalam Pasal 38 ayat (1) Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Ketentuan ini merupakan penyimpangan dari KUHAP yang mewajibkan terdakwa hadir di persidangan. Berdasarkan rumusan Pasal 38 ayat (1) Undang-Undang nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maksud tanpa kehadirannya itu adalah ketika berstatus sebagai terdakwa atau sudah masuk pada tahap persidangan. Ketentuan tersebut tidak merumuskan dan mengatur jika ia masih berstatus sebagai tersangka atau ketika masih dalam proses penyidikan, kemudian penyidik melakukan proses penyidikan secara in absentia. Hal ini tentu menjadi problematika hukum terkait peradilan in absentia dalam tahap penyidikan, mengingat diberlakukannya peradilan in absentia dalam perumusan Pasal 38 ayat (1) Undang-Undang nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terkandung suatu keinginan kuat (political wiil) dari negara untuk memberantas tindak pidana korupsi di Indonesia. 
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif.Sumber bahan hukum yang terdapat dalam penelitian ini berasal dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier dengan teknik pengumpulan data berdasarkan studi kepustakaan dan teknik analisis data yang menggunakan metode deduktif. Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa Penyidik dalam penyidikan tindak pidana korupsi dapat melakukan penyidikan secara in absentia apabila tersangka setelah dipanggil secara sah dan patut, namun ketidakhadiran tersangka itu tanpa suatu alasan yang sah. Ketentuan Pasal 38 ayat (1) UU PTPK harus ditafsirkan secara ekstensif mengenai makna perumusannya, karena ketentuan tersebut semangatnyaadalah menempatkan kejahatan korupsi sebagai kejahatan luar biasa yang penegakan hukumnya pun perlu di luar kebiasaan sebagaimana diatur dalam KUHAP dengan tujuan untuk menyelamatkan kekayaan negara, oleh sebab itu dalam peradilan in absentia dapat berlaku pula pada tahap penyidikan, tidak hanya pada tahap persidangan. Penyidikan in absentia dalam perkara tindak pidana korupsi dapat dilaksanakan tanpa melanggar HAM apabila negara melalui aparat penegak hukum telah menjalankan keharusan mengemukakan alasan-alasan atas ketidakmampuannya menghadirkan tersangka. Ketidakmampuannya itu dikemukakan dan dibuktikan di depan pengadilan sebagai suatu alasan yang obyektif.


Full Text:

PDF


DOI: http://dx.doi.org/10.20884/1.jih.2020.6.1.135

Refbacks

  • There are currently no refbacks.


JURNAL IDEA HUKUM (ISSN Online: 2442-7241 | ISSN Print: 2442-7454) is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License. Preserved in LOCKSS, based at Stanford University Libraries, United Kingdom, through PKP Private LOCKSS Network program.